Jumat, 11 April 2008

BAB 1
Bangkitnya Pangeran Kegelapan
Kedua pria itu muncul dari balik kegelapan, terpisah beberapa meter diterangi tipisnya sinar rembulan. Sesaat mereka sempat mengacungkan tongkat sihir ke arah satu sama lain; lalu, setelah mengenali satu sama lain, mereka menyimpan tongkat di balik jubah mereka dan mulai berjalan beriringan.
“Laporan?” tanya yang berbadan lebih tinggi.
“Yang terbaik,” jawab Severus Snape.
Jalanan yang mereka lalui dibatasi oleh semak belukar di sebelah kiri dan kebun terawat di sebelah kanan. Jubah mereka bersibakan seiring langkah kaki mereka.“Tadinya kukira sudah terlambat,” kata Yaxley, kegempalan tubuhnya hilang dan nampak dengan ranting-ranting pepohonan memecah cahaya rembulan. “Agak lebih repot dari yang kukira sih. Tapi moga-moga dia puas. Kau kelihatan begitu yakin kalau resepsi nanti akan berjalan lancar?”
Snape mengangguk, tanpa menjelaskan apapun. Mereka berbelok kanan, menuju jalan masuk sebuah bangunan. Mereka dikelilingi semak belukar sekarang, dan sepasang pagar besi yang menjulang menghalangi langkah mereka. Mereka terus berjalan: Tanpa mengucapkan apapun keduanya mengangkat tangan kiri mereka sebagai sinyal dan jalan menembus pagar tersebut, seolah-olah pagar besi tersebut merupakan asap belaka.
Barisan dedaunan cemara meredam suara langkah mereka. Terdengar suara bergemerisik di sebelah kanan mereka: Yaxley mengacungkan tongkatnya lagi dan mengarahkannya ke atas kepala rekannya, namun sumber suaranya ternyata tidak lebih dari seekor merak putih yang berjalan dengan anggunnya di atas pagar tanaman.“Hebat, si Lucius itu. Merak…” Yaxley memasukkan tongkatnya kembali ke dalam jubah sambil mendengus.
Perlahan-lahan sebuah rumah besar yang begitu megah nampak dari balik kegelapan di ujung jalan mereka, dan cahaya berkilauan pada jendela berbingkai berlian di lantai dasar. Suara air mancur terdengar dari balik pagar tanaman. Aspal bergemeretak di bawah kaki mereka ketika Snape dan Yaxley bergegas menuju pintu depan, yang terbuka dengan datangnya mereka, walau tak ada siapapun yang terlihat membukanya.Lorong utama rumah tersebut sangatlah besar, penerangannya minimum dan dekorasinya semarak, dengan karpet raksasa menutupi sebagian besar lantai batunya. Mata para lukisan berwajah pucat di dinding mengikuti arah jalan Snape dan Yaxley ketika mereka berdua melintas. Kedua pria tersebut berhenti di depan pintu besar, sempat ragu sejenak, lalu Snape memutar knob perunggu pintunya.
Ruang tamu utama dipenuhi dengan orang-orang yang diam membisu, semuanya duduk pada meja yang panjang dan dekoratif. Furnitur-furnitur kelihatannya telah dipindahkan ke pinggiran ruang tersebut dan tidak ditata kembali dengan rapi. Penerangan ruang itu datang dari kobaran api perapian, di mana di atasnya terdapat rak dengan cermin kecoklatan tertengger di puncak. Snape dan Yaxley perlahan memasuki ruangan itu. Setelah mata mereka mulai membiasakan diri dengan penerangan yang minimum, mereka menoleh ke atas untuk melihat hal paling janggal di ruangan itu: sesosok tubuh manusia yang kelihatannya pingsan tergantung terbalik di atas meja, memutar pelan seakan kakinya digantung dengan tali transparan, dan terpantul di cermin dan meja kosong yang mengkilap di bawahnya. Tidak seorang pun yang duduk di bawahnya memperhatikan sosok itu, selain seorang pemuda pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Ia kelihatan tak mampu menahan diri untuk menoleh ke atas setiap beberapa menit.
“Yaxley. Snape,” kata suara yang jelas terdengar tinggi dari kepala meja. “Kalian sangat hampir terlambat.”
Orang yang berbicara duduk tepat di depan perapian, sehingga orang yang baru datang pertama-tama hanya bisa melihat figur siluetnya. Namun, dengan beranjak mendekat, nampaklah mukanya yang menyala kepucatan, tanpa ada sehelai rambut pun di kepalanya, dengan dua lubang yang berfungsi sebagai lubang hidung dan mata merah berbinar yang pupilnya vertikal. Ia berpenampilan sangat pucat sehingga seolah-olah mukanya memancarkan cahaya mutiara.
“Severus, di sini,” kata Voldemort, dengan menunjuk kursi tepat di sebelah kanannya. “Yaxley – di samping Dolohov.”
Kedua pria tersebut menempati bangku yang tersisa. Kebanyakan di antara mereka di meja itu memperhatikan Snape, dan pada dialah Voldemort pertama berbicara.
“Jadi?”“Tuan, Orde Phoenix berencana memindahkan Harry Potter dari rumahnya Sabtu ini, setelah matahari terbenam.”
Semua yang hadir terlihat menggeliat tertarik: Beberapa membeku tegak, yang lain berdebar-debar, semua mata menatap Snape dan Voldemort.
“Sabtu… setelah matahari terbenam,” ulang Voldemort. Matanya yang kemerahan menatapi mata Snape yang hitam dengan pandangan yang begitu tajam sehingga beberapa orang di situ memalingkan pandangan, takut kalau mereka sendiri akan ditatap seperti itu. Namun Snape dengan tenangnya memandang muka Voldemort dan, setelah beberapa saat, mulut Voldemort yang tak berbibir menorehkan sesuatu yang terlihat seperti senyuman.
“Bagus. Bagus sekali. Dan informasi ini datang –“
“– dari sumber yang sudah kita bincangkan,” kata Snape.
“Tuanku.”
Yaxley mencondongkan badan ke depan untuk bisa melihat Voldemort dan Snape dengan jelas. Semua mata tertuju padanya.
“Tuanku, saya dengar informasinya tidak seperti itu.”Yaxley menunggu, namun karena Voldemort tidak menjawabnya, dia meneruskan, “Dawlish, si Auror, keceplosan bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampai tanggal tiga puluh, sehari sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas.”Snape tersenyum.
“Sumber saya mengatakan kalau ada rencana untuk meninggalkan jejak palsu, dan saya rasa inilah rencana itu. Ini bukan pertama kalinya kok; dia memang terkenal tidak begitu lihai.”
“Saya yakinkan Anda, Tuanku, Dawlish kelihatan begitu yakin,” kata Yaxley.
“Kalau dia sudah kena sihir, tentu saja dia yakin,” kata Snape. “Kuyakinkan kau, Yaxley, seluruh Kantor Auror tidak akan ambil bagian lagi dalam perlindungan Harry Potter. Orde Phoenix percaya kalau kita telah menaruh orang kita di Kementerian.”
“Orde itu sempat ada benarnya juga, ya?” kata orang pendek yang duduk tidak jauh dari Yaxley; seraya terkikik berat dengan gemanya yang terdengar di seluruh penjuru ruangan.
Voldemort tidak tertawa. Tatapan matanya mengembara ke arah tubuh yang memutar-mutar di atasnya, dan ia kelihatan sedang berpikir keras.
“Tuanku,” Yaxley melanjutkan, “Dawlish percaya kalau seluruh divisi Auror akan dipercayakan untuk memindahkan anak itu –“
Voldemort mengangkat tangannya yang besar dan putih itu, dan Yaxley langsung terdiam, memperhatikan dengan kesal ketika Voldemort berbalik menghadap Snape.
“Di mana lagi mereka akan menyembunyikan anak itu?”
“Di rumah salah satu anggota Orde,” kata Snape. “Menurut sumber, tempat itu telah diberi segala proteksi yang bisa disediakan Orde dan Kementerian. Saya rasa akan sulit untuk menculiknya setelah dia diamankan di sana, Tuanku, kecuali, tentu saja, kalau Kementerian telah ditumbangkan sebelum Sabtu ini, di mana kita bisa dapat kesempatan untuk membuka mantra-mantra untuk membuka sisa proteksinya”
“Ya, Yaxley?” Voldemort memanggil ke ujung meja, perapian terpantul dengan aneh di matanya. “Bisakah Kementerian ditumbangkan Sabtu ini?”
Sekali lagi semua mata menatap Yaxley. Ia pun menegakkan bahunya.“Tuanku, saya punya berita bagus untuk hal itu. Saya telah – dengan jerih payah – berhasil mempengaruhi Pius Thicknesse dengan Kutukan Imperius.”
Beberapa yang duduk di sekitar Yaxley terlihat terkesan; Dolohov, pria dengan muka panjang dan urakan yang duduk di sampingnya, menepuk punggungnya.
“Itu baru permulaan,” ujar Voldemort. “Tapi Thicknesse hanyalah satu orang. Scrimgeour harus dikelilingi oleh orang-orang kita sebelum aku bertindak. Sekali aku gagal dalam pembunuhannya, rencanaku bisa berantakan.”
“Ya Tuanku, itu benar – namun Anda tahu tidak, sebagai Kepala Departemen Penegakan Hukum Sihir, Thicknesse punya kontak tidak hanya dengan sang Menteri, tapi juga dengan para Kepala Departemen lainnya. Sepertinya semua akan menjadi mudah setelah kita sekarang punya seorang berjabatan tinggi di bawah kontrol kita, yang bisa mengendalikan bawahannya, lalu mereka semua bekerja sama untuk menurunkan Scrimgeour dari jabatannya”
“Semoga teman kita Thicknesse tidak ketahuan saja sebelum dia menmpengaruhi pikiran mereka semua,” kata Voldemort. “Bagaimanapun juga, sepertinya masih tidak mungkin kalau Kementerian bisa jatuh ke tanganku sebelum Sabtu ini. Kalau kita tidak bisa menyentuh anak itu di tempat tujuannya, maka kita harus laksanakan rencana kita ketika dia sedang dalam perjalanan.”
“Kita lebih beruntung, Tuanku,” kata Yaxley, yang kelihatan sangat ingin mendapat sedikit perhatian. “Sekarang kita sudah punya beberapa orang di dalam Departemen Transportasi Sihir. Kalau Potter ber-Apparate atau memakai Jaringan Floo, kita bisa tahu dengan segera.”
“Dia tak akan melakukan keduanya,” kata Snape. “Orde menghindari segala bentuk transportasi yang dikontrol atau diawasi Kementerian; mereka tidak percaya kalau segala sesuatu berhubungan dengan tempatnya.”
“Justru lebih baik,” kata Voldemort. “Dia akan diharuskan melalui perjalanan di udara terbuka. Lebih mudah untuk ditaklukkan” Voldemort mendongak kembali menatapi sosok tubuh yang memutar pelan seraya meneruskan, “Aku akan menemui anak itu empat mata. Sudah ada terlalu banyak kecerobohan dalam hal-hal yang berhubungan dengan Harry Potter. Terkadang memang salahku sendiri. Potter bisa hidup sekarang, itu lebih karena kecerobohanku daripada kehebatannya.”
Semua orang menyimak Voldemort dengan seksama, masing-masing terlihat cemas kalau dirinya akan disalahkan atas kelangsungan hidup Harry Potter. Namun Voldemort lebih terlihat berbicara pada dirinya sendiri, sambil tetap menatap tubuh yang tergantung itu.
“Aku selama ini ceroboh, dan karena itulah keberuntungan tidak di sisiku. Tapi aku mengerti sekarang. Aku sudah mengerti tentang semua hal yang tidak aku mengerti sebelumnya. Akulah yang seharusnya membunuh Harry Potter, hanya dengan tanganku sendiri.”
Seakan menjawab Voldemort, tiba-tiba terdengarlah suara cicitan, suara yang memancarkan derita dan sengsara. Sebagian dari mereka di meja melihat ke bawah, terkejut bahwa suara itu datang dari kaki mereka.
“Wormtail,” kata Voldemort, masih dengan suara yang kalem dan pengertian, dan mata yang menatap tubuh yang digantung itu, “Bukankah sudah kusuruh kau untuk mendiamkan tawanan kita?”
“Ya, t-Tuanku,” pekik pria kecil yang mengambil bangku di tengah meja, dengan dudukan sangat rendah hingga seolah bangku itu terlihat masih kosong. Lalu ia beranjak dari kursinya dan bergegas keluar dari ruangan itu.
“Seperti yang kubilang tadi,” lanjut Voldemort, kembali menghadap wajah para pengikutnya, “Aku sudah mengerti sekarang. Nah, pertama-tama yang kubutuhkan adalah tongkat sihir salah satu dari kalian sebelum aku pergi membunuh Potter.”Semua pengikutnya terperangah; seolah-olah ia baru saja mengumumkan akan meminjam salah satu lengan mereka. “Tak ada sukarelawan?” kata Voldemort. “Coba lihat… Lucius, sepertinya kamu sudah tidak butuh tongkatmu lagi.”
Lucius Malfoy menghadapnya. Kulitnya terlihat kekuningan pucat memantulkan cahaya perapian dan matanya terlihat gelap kering. Ketika ia mulai berbicara, suaranya serak.“Ya, Tuanku?”
“Tongkatmu, Lucius. Aku butuh tongkatmu.”
“Saya…”
Malfoy menoleh ke arah istrinya. Ia juga terlihat pucat, dengan rambut pirang tergerai di punggungnya, namun di bawah meja tangannya menggenggam tangan suaminya. Dengan sentuhan istrinya, Malfoy mengambil tongkat dari balik jubahnya dan memberikannya ke Voldemort, yang kemudian menelitinya dengan seksama.
“Apa bahannya?”
“Jati, Tuanku,” bisik Malfoy.
“Dan intinya?”
“Naga – nadi jantung naga.”
“Bagus,” kata Voldemort. Ia mengeluarkan tongkatnya sendiri dan membandingkan panjang keduanya. Lucius Malfoy tanpa sadar bergerak maju; sesaat ia terlihat berharap akan mendapat tongkat Voldemort sebagai gantinya. Gerakan ini tidak dilewatkan Voldemort, matanya pun langsung membelalak. “Kamu mau tongkatku, Lucius? Tongkatku?”
Sebagian terlihat menahan tawa.
“Aku sudah beri kamu kebebasan, Lucius, masih tidak cukup juga? Tapi aku sadari kalau belakangan keluargamu kelihatan kurang bahagia…. Apakah karena kehadiranku di sini, Lucius?”
“Tidak – sama sekali tidak, Yang Mulia!”
“Bohong, Lucius…”
Suaranya begitu halus hingga ia terlihat seperti mendesis bahkan ketika mulutnya yang kejam berhenti membuka. Satu atau dua penyihir sulit menahan gidik ketika desisan itu mengeras; seakan ada sesuatu yang berat sedang melata di permukaan lantai.Seekor ular raksasa berusaha menaiki kursi Voldemort dan akhirnya berdiam di bahu tuannya: dengan bahu sebesar paha pria dewasa; matanya, dengan potongan vertikal sebagai pupil, tidak berkedip sedikitpun. Voldemort tanpa berekspresi membelai makhluk itu, masih menatap Lucius Malfoy.
“Kenapa keluarga Malfoy kelihatan sangat tidak bahagia? Apakah kembalinya diriku dengan kekuatan bukanlah sesuatu yang mereka dambakan selama bertahun-tahun?”
“Tentu saja, Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergemetar ketika ia menyeka keringat dari bibir atasnya. “Kami mendambakannya – sudah tentu.”Di sebelah kiri Malfoy, istrinya mengangguk kaku, dengan matanya menghindari Voldemort dan ularnya. Di sebelah kanannya, putranya Draco, yang selama ini menatapi sosok tubuh di atasnya, melirik Voldemort sejenak dan menghindarinya lagi, takut membuat kontak mata.
“Tuanku,” kata wanita berpenampilan gelap dari tengah meja, suaranya penuh dengan emosi, “sungguh suatu kehormatan Anda berada di sini, di kediaman keluarga kami. Tiada hal yang bisa menandingi kehormatan itu”
Ia duduk di samping adiknya, karena tidak semirip Narcissa dalam penampilan, dengan rambut gelap dan mata hitam membawa aura pembawaan dan keanggunannya, sedangkan Narcissa terduduk kaku tanpa ekspresi. Bellatrix mencondongkan badan ke Voldemort, karena kata-kata semata tidak mampu melukiskan harapannya akan kedekatan.
“Tiada hal yang bisa menandingi kehormatan itu,” ulang Voldemort, kepalanya tunduk memikirkan Bellatrix. “Itu berarti hal yang besar, Bellatrix, dari kamu.”
Wajahnya dipenuhi air muka semangat; matanya berkaca-kaca bahagia. “Tuanku tahu aku tidak pernah berdusta!”
“Tiada hal yang bisa menandingi kehormatan itu … bahkan dibandingkan dengan peristiwa gembira setelah itu, kudengar, yang keluargamu adakan minggu ini?”Bellatrix menatapnya, mulut menganga, terlihat bingung.
“Saya tidak mengerti, Tuanku”
“Yang kumaksud sepupumu, Bellatrix. Dan sepupu kalian, Lucius dan Narcissa. Dia baru saja menikahi si manusia serigala, Remus Lupin. Kalian pasti sangat bangga.”Meja itu dipenuhi dengan tawa meledek dari seluruh kerumunan. Banyak yang condong ke depan untuk menukar pandangan; beberapa menggebrak meja. Sang ular raksasa, tidak menyukai kebisingan itu, membuka mulut lebar-lebar den mendesis dengan marah, namun para Pelahap Maut tidak mendengarnya, mereka girang dengan dipermalukannya Bellatrix dan keluarga Malfoy. Wajah Bellatrix, yang tadinya memancarkan kebahagiaan, sekarang merona merah.
“Dia bukan sepupu kami, Tuanku,” serunya di tengah letupan kebahagiaan itu. “Kami – Narcissa dan saya – tidak pernah bertatap muka dengan saudara kami sejak dia menikahi si Darah Lumpur itu. Si brengsek itu maupun segala macam binatang yang dinikahinya tidak ada hubungannya dengan satupun dari kami.”
“Bagaimana menurutmu, Draco?” tanya Voldemort, dan walau suaranya kalem, tetap saja terdengar jelas di tengah sorakan sindiran di sana-sini. “Bisa tidak kamu rawat anak serigala?”
Sorakan di situ memuncak, Draco Malfoy menatap dengan penuh kengerian ayahnya, yang sedang tertunduk malu, lalu berbalik menatap ibunya. Ibunya menggeleng keras, lalu meneruskan menerawang ke dinding.
“Cukup,” kata Voldemort seraya membelai ularnya yang gusar. “Cukup.”
Dan tawa ceria pun terhenti seketika. “Banyak di antara pohon keluarga kita menjadi berpenyakit seiring berlalunya waktu,” katanya ketika Bellatrix memperhatikannya dengan seksama sambil menahan nafas dan pandangan memohon, “Kita harus memangkas bagian itu, tentu tidak, supaya pohonnya tetap sehat? Pangkas bagian yang mengancam kesehatan sisanya.”
“Ya, Tuanku,” rintih Bellatrix, dan matanya terlihat tidak mampu menahan air mata terima kasih. “Itu sudah kami lakukan!”
“Kamu pantas mendapatkannya,” kata Voldemort. “Di keluargamu, juga di dunia, kita akan memangkas semua borok penuh infeksi itu hingga hanya yang berdarah murni tetap tinggal …”
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy, mengacungkannya ke arah tubuh yang tergantung di atas meja, dan menggoyangkannya. Tubuh itu lalu mulai bergerak hidup dan menggeliat melawan ikatan yang kasat mata.
“Kenal tamu kita tidak, Severus?” tanya Voldemort.Snape menoleh ke wajah yang terbalik itu. Semua Pelahap Maut sedang memperhatikan tawanan itu, seakan mereka baru saja diizinkan untuk menunjukkan rasa penasaran. Ketika dia berputar menghadap perapian, wanita itu merintih dengan penuh kengerian,
“Severus! Tolong aku!”
“Ah, tentu,” kata Snape ketika tawanan itu berputar lagi.
“Dan kamu, Draco?” tanya Voldemort, membelai hidung ularnya dengan tangan yang tidak memegang tongkat sihir. Draco menggeleng cepat-cepat. Sekarang setelah wanita itu terbangun, Draco tidak mampu menatapnya lagi.“Tapi kamu memang tidak mungkin ambil kelasnya,” kata Voldemort. “Bagi kalian yang belum kenal, tamu kita ini bernama Charity Burbage yang, sebelum datang ke sini mengajar di Sekolah Sihir Hogwarts.”
Anggukan mengerti terlihat di sekeliling meja. Seorang wanita besar bongkok bergigi maju terkikik.
“Ya … Profesor Burbage mengajari anak-anak penyihir segala sesuatu tentang Muggle … tentang bagaimana mereka ternyata tidak terlalu berbeda dengan kita …”Salah seorang Pelahap Maut meludah ke lantai. Charity Burbage memutar menghadap Snape lagi.
“Severus … tolong … tolong …”
“Diam,” hardik Voldemort, dengan goyangan tongkat Malfoy, dan Charity langsung terdiam seakan dibungkam. “Tidak puas dengan mengotori isi pikiran anak-anak penyihir, minggu lalu Profesor Burbage menulis artikel yang mengagungkan para Darah Lumpur di Daily Prophet. Penyihir, katanya, harus menerima mereka para perampok ilmu pengetahuan dan sihir. Menipisnya darah murni, kata Profesor Burbage, adalah hal yang terbaik … Dia ingin kita semua menikah dengan Muggle … atau bahkan manusia serigala … “
Tidak ada yang tertawa sekarang. Tidak ada yang meragukan akan luapan marah dan geram dalam suara Voldemort. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage memutar untuk menghadap Snape.
Air mata menetes dari matanya ke rambutnya. Snape berbalik menghadapnya, tanpa ekspresi, ketika ia memutar darinya lagi.
“Avada Kedavra”
Pancaran sinar hijau memenuhi seluruh penjuru ruangan. Charity jatuh menggedebuk ke meja di bawahnya, membuat meja itu bergetar dan berkeriut. Beberapa dari para Pelahap Maut melonjak dari kursi. Draco terjatuh dari kursinya ke lantai.
“Makan malam, Nagini,” kata Voldemort dengan lembut, dan ular raksasa itu turun dan melata dari bahunya ke meja.



























BAB 2 : In Memorandum

Harry sedang berdarah. Menggenggam lengan kanannya dengan tangan kiri dan sambil menyumpah, ia membuka kamar tidurnya dengan dorongan bahunya. Terdengar bunyi keramik berkerotak. Ia baru saja tidak sengaja menginjak secangkir teh dingin yang ditaruh di depan kamarnya.
“Apa-apaan –?”
Ia menoleh ke sekelilingnya, dan di dasar tangga rumah Privet Drive nomor empat tidak ada siapapun. Mungkin cangkir teh ini hanyalah jebakan iseng Dudley. Dengan tangan yang berdarah terangkat, Harry mengumpulkan serpihan-serpihan cangkir itu dengan tangan kirinya dan membuangnya ke tempat sampah yang sudah terlihat penuh di depan kamarnya. Lalu ia pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk mencuci jarinya di wastafel.
Sungguh bodoh dan mengesalkan bahwa hanya tinggal empat hari tersisa sebelum akhirnya ia diperbolehkan menggunakan sihir … tapi ia sendiri mengakui kalau potongan luka ini telah mempermalukannya. Ia tidak pernah pelajari cara menyembuhkan luka, dan sekarang setelah ia memikirkannya – terutama mengenai rencananya dalam waktu dekat – ini terlihat sebagai sebuah kecerobohan besar dalam pendidikan sihir yang sudah ditempuhnya. Sambil berjanji kalau nanti ia akan tanyakan caranya pada Hermione, ia gunakan segumpalan besar tisu toilet untuk mengelap sebanyak mungkin air teh, lalu kembali ke kamarnya sambil membanting pintu.
Harry telah menghabiskan pagi itu mengosongkan isi kopernya pertama kalinya semenjak ia mengisinya enam tahun lalu. Pada tiap awal tahun ajaran baru, ia biasanya hanya membongkar tiga perempat bagian atas dan mengganti isinya dengan yang baru, menyebabkan banyaknya sampah pada dasar kopernya – pena bulu tua, mata kumbang kering, kaus kaki yang pasangannya hilang. Sesaat sebelumnya, Harry membenamkan tangannya, tertusuk di jari manis tangan kanannya, dan menariknya kembali melihat jarinya yang kini bercucuran darah.
Ia sekarang lebih berhati-hati. Dengan berlutut di samping kopernya lagi, ia meraba-raba dasar kopernya dan, setelah menemukan lencana bekas yang menyala-nyala bergantian dari DUKUNGLAH CEDRIC DIGGORY dan POTTER BAU, Sneakoscope pecah dan butut, dan liontin emas bertuliskan R.A.B. yang tersembunyi, ia akhirnya menemukan benda tajam yang telah melukainya. Ia langsung mengenalinya. Benda itu adalah potongan kaca lima-senti dari cermin yang dihadiahkan walinya, Sirius. Harry menaruh cermin itu di sampingnya dan mulai membongkar isi kopernya lagi, tapi tidak ada lagi yang tersisa dari peninggalan walinya selain kacamata berdebu, yang tertanam di bagian dasar tumpukan sampah seperti karat.
Harry terduduk dan memeriksa potongan kaca yang telah melukainya, namun tidak melihat apapun selain matanya yang hijau terang terpantul menatapinya. Lalu ia meletakkan potongan itu di atas Daily Prophet terbitan pagi itu yang belum dibacanya, dan berusaha untuk menekan luapan kenangan pahit, siksa rasa penyesalan dan kerinduan yang diakibatkan oleh penemuan cermin itu dengan meneruskan membongkar isi kopernya.
Harry menghabiskan satu jam berikutnya untuk mengosongkan isi kopernya, membuang benda-benda yang sudah tak terpakai lagi, dan menyilih sisanya dalam gundukan-gundukan berdasarkan perlu tidaknya ia akan masing-masing benda itu. Jubah Quidditch dan jubah sekolah, kuali, perkamen, pena bulu, dan sebagian besar buku pelajarannya ditumpuk di sudut ruangan untuk ditinggalkan saja. Ia membayangkan apa yang paman dan bibinya akan lakukan terhadap buku-buku itu, mungkin membakarnya, seolah-olah merupakan barang bukti kejahatan berat. Pakaian Muggle-nya, Jubah Gaib, paket pembuatan ramuan, buku-buku tertentu, album foto dari Hagrid, bundelan surat, dan tongkat sihirnya telah dimasukkan kembali ke dalam ransel tua. Peta Perampok dan liontin bertuliskan R. A. B. dimasukkan ke bagian depan ransel. Liontin tersebut diberi tempat kehormatan bukan karena nilainya tinggi – benda itu tentu tidak bernilai – tapi karena harga yang sudah dikorbankan untuk memperolehnya.
Yang tersisa sekarang hanyalah bundelan koran bekas di atas meja bersama dengan burung hantunya, Hedwig: yang semuanya sudah dibacanya selama musim panas di Privet Drive.
Ia bangkit dari lantai, meregangkan badan, dan menghampiri mejanya. Hedwig tidak bergerak sedikitpun ketika ia mulai membuka bundelan koran itu, membuangnya satu demi satu. Burung hantu itu entah tertidur atau hanya pura-pura; ia masih marah pada Harry karena waktu terbatas yang diperbolehkan untuk keluar kandang.Ketika ia mencapai dasar tumpukan koran, Harry melambat, mencari satu terbitan yang tiba beberapa hari sesudah ia kembali ke Privet Drive musim panas itu; ia ingat tentang artikel pengunduran diri Charity Burbage, guru Studi Muggle di Hogwarts. Akhirnya ia menemukannya. Di halaman sepuluh, ia tenggelam dalam kursinya dan membaca kembali artikel yang sudah dicarinya.
ALBUS DUMBLEDORE DALAM KENANGAN
Oleh Elphias Doge
Saya bertemu dengan Albus Dumbledore ketika berumur sebelas tahun, pada hari pertama kami di Hogwarts. Kami cepat berteman karena kami sama-sama orang terkucilkan. Saya terkena cacar naga pas sebelum hari masuk sekolah, dan walaupun saya sudah sembuh sekalipun, bisul saya dan warna kehijauan yang membekas membuat banyak murid menghindari saya. Kalau Albus, ia sudah tiba di Hogwarts dengan perhatian yang tidak diinginkan. Hampir setahun sebelumnya, ayahnya, Percival, masuk berita karena tuduhan penyiksaan tiga Muggle.
Albus tidak pernah menyangkal bahwa ayahnya (yang nantinya meninggal di Azkaban) telah melakukan kejahatan ini; malah ketika saya memberanikan diri untuk bertanya padanya, ia meyakinkan saya kalau ia tahu ayahnya memang bersalah. Selain itu, Dumbledore menolak untuk membincangkan peristiwa sedih itu, walau banyak yang mencoba untuk mengorek hal itu darinya. Beberapa orang cenderung memuji tindakan ayahnya dan berasumsi kalau Albus juga seorang pembenci-Muggle. Itu tentu kesalahan besar: karena siapapun yang tahu Albus akan bersaksi kalau ia tidak pernah menunjukkan rasa ketidaksukaan pada Muggle sedikitpun. Tentu, dukungannya yang kuat untuk hak-hak Muggle telah membuatnya mendapat banyak musuh pada tahun-tahun berikutnya.Bagaimanapun juga, dalam hitungan bulan kepopuleran Albus tidak lagi dihubung-hubungkan dengan ayahnya. Pada akhir tahun pertama ia tidak lagi dikenal sebagai anak seorang pembenci-Muggle, tapi kurang lebih sebagai anak paling cemerlang yang pernah ada di Hogwarts. Kita yang beruntung bisa berteman dengannya mendapatkan banyak manfaat dari bimbingan dan dukungannya, karena ia memang anak berbudi baik. Di hari kemudian ia bahkan pernah curhat pada saya kalau ia lebih mengidam-idamkan untuk mengajar daripada belajar.
Selain menjuarai semua kompetisi yang diadakan sekolah, ia tak lama kemudian mulai surat-menyurat dengan para penyihir terhebat zaman itu, antara lain Nicolas Flamel, sang alkimiawan ternama; Bathilda Bagshot, sang sejarawan; dan Adalbert Waffling, ilmuwan sihir. Beberapa esainya dimuat di media massa termasuk Transfiguration Today, Challenges in Charming, dan The Practical Potioneer. Prospek karir Dumbledore kelihatannya setinggii langit, dan semua orang bertanya-tanya kalau ia mau menjadi Menteri Sihir. Walau nantinya diramalkan pada kemudian hari kalau ia akan mengambil profesi besar, ia tidak pernah tertatik masuk Kementerian.
Tiga tahun setelah kami tiba di Hogwarts, adik Albus, Aberforth, mulai bersekolah. Mereka tidak serupa: Aberforth bukan kutu buku dan tidak seperti Albus, lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan duel daripada diskusi. Walau banyak orang mengira keduanya tidak akrab, ternyata asumsi itu tidak berdasar. Hubungan mereka sedekat mungkin yang bisa dijalin dua anak yang berbeda jauh. Mengenai Aberforth, tentu saja harus diakuii kalau hidup di bawah bayang-bayang kakaknya tentu tidak enak. Selalu dilampaui oleh Albus sangatlah tidak enak bagi kami temannya, terlebih lagi adiknya sendiri. Ketika saya dan Albus lulus dari Hogwarts kami berencana untuk keliling dunia, mengadakan ekspedisi mengunjungi penyihir asing sebelum kami berpisah menempuh karir kami masing-masing. Namun, takdir berkata lain. Pada malam sebelum keberangkatan kami, ibu Albus, Kendra, meninggal dunia, dan hal itu menjadikan Albus sebagai kepala keluarga. Saya menunda tanggal keberangkatan untuk menghormati pemakaman Kendra, dan pada akhirnya pergi keliling dunia sendirian. Dengan dua adik yang harus dirawat dan uang yang terbatas, sudah tentu tidak mungkin bagii Albus untuk menemani saya.
Itulah masa-masa ketika saya dan Albus hampir kehilangan kontak. Saya menyurat ke Albus, tanpa menyadari perasaannya, tentang keindahan perjalanan saya, dari kaburnya saya dari chimaera di Yunani sampai eksperimen bersama para alkimiawan Mesir. Balasan darinya menggambarkan kehidupan sehari-hari, yang menurut saya tentu sangat monoton bagi penyihir secemerlang dirinya. Sibuk dengan perjalanan saya, saya sangat terperangah menjelang akhir perjalanan saya ketika saya mendengar adik perempuan Dumbledore, Ariana, meninggal dunia.
Walau Ariana memang sudah lama sakit-sakitan, tragedi itu menimpa kedua kakaknya begitu cepat setelah kematian ibu mereka. Semua yang dekat dengan Albus – termasuk saya – setuju bahwa kematian Ariana, dan rasa bersalah Albus (walau tentu saja ia tak bersalah), meninggalkan luka di hatinya seumur hidupnya.Saya kembali ke Inggris menemui seorang pemuda yang sudah melalui asam garam hidup jauh melebihi saya. Albus jauh lebih berpembawaan daripada dahulu, dan ia lebih jarang tersenyum. Penderitaan Albus bertambah parah dengan kematian Ariana yang membuat Albus dan Aberforth saling menjauhi satu sama lain. (Bertahun-tahun kemudian mereka berbaikan kok, walaupun kedekatan mereka belum tentu seerat sebelumnya). Karena ia jarang berbicara mengenai orangtuanya atau Ariana sejak hari itu, teman-temannya tidak pernah menyebut mereka lagi.
Media massa pun mulai menuliskan kejayaannya pada tahun-tahun berikutnya. Kontribusi Dumbledore dalam dunia Ilmu Sihir tidak terhitung jumlahnya, termasuk penemuannya tentang dua belas kegunaan darah naga yang bermanfaat besar bagi generasii berikutnya, maupun kebijaksanaan yang ditunjukkannya dalam pengadilan selama menjadii Jaksa Sihir di Wizengamot. Orang bilang, hingga sekarang tidak ada satu pun Duel Sihir yang bisa menandingi duel antara Dumbledore dan Grindelwald pada tahun 1945. Mereka yang menyaksikannya telah menuliskan kekaguman dan teror yang mereka alami ketika mereka menonton kedua penyihir yang luar biasa itu bertanding. Kemenangan Dumbledore, dan konsekuensinya bagi Dunia Sihir, dianggap titik tumpu dalam sejarah sihir yang bisa menyamai Konstitusi Kerahasiaan Internasional atau kejatuhan Ia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebutkan.
Albus Dumbledore tidak pernah bersombong atau meninggikan diri; ia selalu bisa menemukan sisi positif tiap orang sejahat atau sebusuk apapun orang itu, dan saya percaya bahwa kepergian dirinya meninggalkan duka besar bagi kita semua. Walau kerinduan saya akan persahabatan kami tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata semata, kehilangan saya masih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kehilangan Dunia Sihir. Reputasinya sebagai kepala sekolah Hogwarts paling inspiratif yang dicintai masyarakat tidak perlu dipertanyakan lagi. Ia meninggal selayaknya ia menjalankan hidup: berkarya selalu untuk yang terbaik, dan sampai jam terakhirnya, masih berhati seluhur anak yang mau berteman dengan anak cacar naga pada hari pertama kami di Hogwarts.
Harry selesai membaca, tetapi tetap memperhatikan gambar di samping obituari. Dumbledore tersenyum ramah, tapi dengan tatapannya di balik kacamata bulan-separonya, ia membuat Harry berpikir bahwa, bahkan dalam cetakan tinta, sedang meneliti isi pikiran Harry, yang sedang merasa sedih bercampur malu.Harry mengira bahwa ia telah mengenal Dumbledore dengan begitu baik, tetapi dengan membaca obituari tersebut ia terpaksa menyadari bahwa ia hampir tidak mengenalnya sama sekali. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan masa muda Dumbledore; seolah-olah Dumbledore dilahirkan seperti yang sudah dikenalnya selama ini, bertampang-terhormat, berambut perak, dan berusia lanjut. Gambaran Dumbledore remaja sangatlah janggal, seperti membayangkan Hermione menjadi idiot atau Skrewt Ujung-Meletup yang ramah.
Tak pernah terpikir olehnya untuk menanyakan masa lalu Dumbledore. Tentu aneh rasanya, atau bahkan tidak sopan, tapi sekarang setelah semua orang sudah tahu bahwa Dumbledore telah mengambil bagian dalam duel legendaris dengan Grindelwald, dan Harry tidak pernah bertanya pada Dumbledore bagaimana rasanya, atau tentang kejayaannya yang lain. Tidak, mereka berdua hanya selalu membincangkan Harry, masa lalu Harry, masa depan Harry, rencana Harry … dan bagi Harry sekarang, walaupun masa depannya sangat berbahaya dan samar-samar, ia telah melewatkan kesempatan emas ketika ia gagal menanyakan Dumbledore lebih mengenai dirinya sendiri, walau satu-satunya pertanyaan pribadi yang pernah ia tanyakan padanya hanyalah pertanyaan yang ia curigai tidak dijawab dengan jujur:
“Apa yang Anda lihat kalau Anda memandang cermin itu?”
“Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal.”
Setelah berpikir selama beberapa menit, Harry merobek artikel obituari itu dari The Prophet, melipatnya dengan rapi, dan menyimpannya di dalam volume pertama Sihir Pertahanan Praktis dan Kegunaannya melawan Ilmu Hitam. Lalu ia melempar sisa korannya ke gundukan sampah dan berbalik menghadap kamar. Kamarnya terlihat lebih rapi sekarang. Yang masih belum rapi hanyalah Daily Prophet hari ini, masih di atas tempat tidur, dan di atasnya, potongan cermin rusak.
Harry menggeser potongan cermin itu dan membuka korannya. Ia hanya membaca sambil lalu berita utamanya dari burung hantu kiriman pagi itu dan melemparnya saja kalau tidak ada sebutan Voldemort. Harry yakin kalau Kementerian sedang menekan penerbitnya untuk tidak menerbitkan berita apapun tentang Voldemort. Karena itulah, hanya sekarang ia akhirnya membaca apa yang selama ini dilewatkannya.Di bagian paling bawah halaman depan berita utama yang lebih kecil terpampang di atas gambar Dumbledore sedang berjalan tergesa-gesa:
DUMBLEDORE – APAKAH KENYATAAN PADA AKHIRNYA TERBONGKAR?
Terbit minggu depan, berita mencengangkan mengenai sang jenius penuh-kekurangan yang diasumsikan selama ini sebagai penyihir terhebat pada generasinya. Dengan menanggalkan gambaran yang selama ini populer sebagai seorang bijak dengan janggut abu-abunya, Rita Skeeter membongkar masa lalunya yang tidak stabil, anak berandalan, pertengkaran seumur-hidup, dan rahasia tersembunyi yang Dumbledore bawa ke kubur, MENGAPA orang ini menolak jabatan Menteri Sihir hanya untuk menjadi kepala sekolah? APA alasan dibalik pendirian organisasi rahasia Orde Phoenix? BAGAIMANA Dumbledore menemui ajalnya?
Semua jawabannya dan banyak pertanyaan lainnya akan dibahas secara tuntas pada biografi spektakuler yang baru, Dunia dan Dusta Albus Dumbledore, oleh Rita Skeeter, yang diwawancarai secara eksklusif oleh Berry Braithwaite, halaman 13, di dalam.
Harry membuka koran dan menemukan halaman tiga belas. Artikel itu hampir dipenuhi dengan gambar seseorang yang sudah tidak asing lagi: seorang wanita mengenakan kacamata berhiaskan permata dengan rambut ikal-ikal kecil yang aneh, dengan gigi yang tak nampak pada senyuman culasnya, menggeliatkan jarinya pada Harry. Berusaha keras untuk menghilangkan gambaran memuakkan ini, Harry meneruskan membaca.
Ditemui langsung, Rita Skeeter jauh lebih ramah dan lembut daripada gambaran tangguh yang dibawakan potret pena bulunya. Menyapa saya di jalan masuk rumahnya yang nyaman itu, ia membawa saya masuk ke dapur untuk menikmati secangkir teh, sepotong kue bolu dan, tak perlu diragukan lagi, luapan gosip terhangat.
“Ya, tentu, Dumbledore kan impian setiap penulis biografi,” kata Skeeter. “Hidup yang panjang dan penuh warna. Saya yakin banyak orang akan ikut-ikutan membuat buku seperti buku saya.”
Skeeter memang lihai. Bukunya yang setebal sembilan ratus halaman itu diselesaikan hanya dalam waktu empat minggu setelah kematian misterius Dumbledore bulan Juni lalu. Saya tanyakan bagaimana ia bisa menyelesaikannya sebegitu cepat.“Oh, kalau anda sudah lama menjadi jurnalis seperti saya, bekerja dikejar deadline adalah hal alami. Saya tahu seluruh Dunia Sihir sedang mencari berita lengkapnya dan saya mau menjadi orang pertama yang bisa melaksanakannya.”
Saya menyebutkan kata-kata Elphias Doge, Penasihat Khusus pada Wizengamot dan teman karib Albus Dumbledore yang diberitakan besar-besaran bahwa “buku Skeeter mengungkapkan fakta lebih sedikit daripada selembar kartu Kodok Cokelat.”
Skeeter tertawa lepas terbahak-bahak.
“Doge Bangka! Saya ingat pernah wawancarai dia beberapa tahun lalu mengenai hak-hak manusia duyung, kasihan dia. Betul-betul pikun, mengira kalau kita sedang duduk pada dasar Danau Windermere, berkali-kali memperingatkan saya untuk berhati-hati akan ikan tuna.”
Dan walau begitu tuduhan Elphias Doge akan ketidakakuratan bergema di mana-mana. Apakah Skeeter merasa bahwa hanya empat minggu cukup untuk mendapat gambaran penuh akan hidup Dumbledore yang panjang dan luar biasa itu?“Oh, sayang,” senyum Skeeter, menggenggam tanganku dengan jemarinya, “sama dengan saya, anda tahu betul tentang berapa banyak info yang bisa diperas dengan sekantung penuh Galleon, penolakan untuk mendengar kata ‘tidak’, dan tulisan tajam Pena Bulu Kutip-Kilat! Orang mengantri untuk mendengar kelemahan Dumbledore, kan. Tidak semua orang menganggap dia gemilang, tahu – banyak juga yang tidak suka padanya. Tapi si Doge Bangka harus turun dari tinggi hati hipogriff-nya, karena saya punya akses ke narasumber yang bisa membuat banyak jurnalis iri, seseorang yang tidak pernah bicara di depan publik sebelumnya dan yang dekat pada Dumbledore selama fase masa mudanya yang paling terguncang.”Publisitas awal biografi Skeeter memberi anggapan bahwa akan ada kegemparan yang menunggu bagi mereka yang percaya bahwa Dumbledore telah hidup tak ternoda. Apa kejutan terbesar yang telah berhasil dikoreknya?
“Sudahlah. Betty, saya tidak akan membocorkan poin-poin penting sebelum orang beli buku saya!” tawa Skeeter. “Tapi saya berjanji bahwa siapapun yang masih berpikir bahwa hidup Dumbledore seputih janggutnya akan bangun dari tidur mereka! Kita tahu kalau siapapun yang pernah mendengar ia memarahi Kau-Tahu-Siapa takkan pernah membayangkan kalau ternyata ia sendiri pernah pelajari Ilmu Hitam! Dan untuk seorang penyihir yang nantinya berusaha menyemai toleransi, ia tidak seperti itu pada masa mudanya! Ya, Albus Dumbledore memiliki masa lalu yang gelap, dan juga keluarga ganjil dengan seribu fakta tersembunyi yang berusaha ditutup-tutupinya.”
Saya tanyakan kalau yang Skeeter maksudkan adalah adik Dumbledore, Aberforth, yang dituduh penyalahgunaan sihir oleh Wizengamot yang menyebabkan skandal kecil lima belas tahun lalu.
“Oh, Aberforth hanyalah setitik dari gundukan kotoran,” tawa Skeeter. “Tidak, tidak, yang saya maksud adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada kebiasaan adik lelakinya menyihir kambing, lebih parah bahkan daripada seorang ayah pembenci-Muggle – Dumledore tidak dapat mendiamkan mereka berdua sehingga akhirnya mereka pun dijatuhi sanksi oleh Wizengamot. Tidak, ibu dan adik perempuannyalah yang paling menarik perhatian saya, dan sedikit pengorekan fakta telah membongkar sebuah sarang kebusukan – tetapi seperti yang sudah saya bilang, kalian semua harus menunggu bab sembilan sampai dua belas nanti untuk detil lengkapnya. Yang bisa saya katakan sekarang hanyalah, tidak aneh kalau Dumbledore tak pernah bicarakan tentang bagaimana hidungnya bisa patah.”Walau begitu, apakah Skeeter menyangkal akan kehebatan yang membawa Dumbledore pada penemuan-penemuan hebatnya?
“Ia memang berotak,” Skeeter mengaku, “walau sekarang banyak yang mempertanyakan apakah kejayaannya memang hasil kerjanya sendiri. Seperti yang sudah saya bongkar di bab enam belas, Ivor Dillonsby mengklaim kalau ia sudah menemukan delapan kegunaan darah naga ketika Dumbledore ‘meminjam’ karya tulisnya.”Tetapi tetap saja kejayaan Dumbledore ketika berhasil mengalahkan Grindelwald tidak dapat disangkal lagi. Bukankah begitu?
“Ah, saya senang anda menyebut Grindelwald,” kata Skeeter dengan senyum berseri-seri. “Sepertinya mereka yang sudah menelan mentah-mentah cerita itu harus siap-siap kecewa. Sungguh permainan yang kotor. Yang bisa saya katakan hanyalah, jangan merasa begitu yakin kalau terjadi duel spektakuler yang melegenda itu memang autentik. Setelah mereka baca buku saya, orang mau tak mau harus percaya kalau Grindelwald menyihir bendera putih dari tongkat sihirnya dan keluar secara sukarela!”Skeeter menolak bercerita lebih lanjut mengenai topik yang membuat penasaran ini, jadi kita berbalik ke bagian hubungan Dumbledore dengan orang-orang di sekitarnya yang tentu, akan menarik publisitas melebihi yang lainnya.
“Ah ya,” kata Skeeter, mengangguk cepat, “Saya telah menghabiskan satu bab penuh pada seluruh hubungan Potter-Dumbledore. Hubungan mereka memang tidak sehat, bahkan ganjil. Untuk kesekian kalinya, para pembaca harus membeli buku saya untuk mengetahui kisah sebenarnya, tapi tidak perlu diragukan lagi kalau ketertarikan pada Potter memang tidak wajar. Apakah semua itu memang ia lakukan untuk kepentingan anak itu … liat saja nanti. Sudah merupakan rahasia umum kalau masa muda Potter sangat terguncang.”Saya tanyakan kalau Skeeter masih berhubungan dengan Harry Potter, yang wawancaranya itu sempat menggemparkan massa: potongan berita di mana Potter berbicara secara eksklusif mengenai keyakinannya bahwa Kau-Tahu-Siapa telah kembali.
“Oh, ya, kami lebih akrab sekarang,” kata Skeeter. “Potter yang malang hanya punya sedikit sahabat, dan kami pertama bertemu pada masa-masa paling menantang dalam hidupnya – Turnamen Triwizard. Saya mungkin satu dari sedikit orang yang masih hidup untuk bisa bersaksi mengenai diri Harry Potter yang asli.”Hal ini membawa kita pada bagian rumor tentang jam-jam terakhir Dumbledore. Apakah Skeeter percaya kalau Potter berada di sana ketika Dumbledore menghembuskan nafas terakhirnya?
“Well, saya tak mau mengungkap terlalu banyak tentang itu – semuanya ada di buku kok – tapi para saksi di Hogwarts mengaku melihat Potter berlari menjauh dari TKP sesaat setelah Dumbledore jatuh, lompat, atau didorong itu. Potter kemudian bersaksi kalau Severus Snape – guru yang amat dibencinya – ialah pelakunya. Apa benar? Silahkan tentukan sendiri setelah baca buku saya.”
Dengan penutup itu, saya berpamit pulang. Tidak perlu diragukan lagi kalau Skeeter telah menulis sebuah mahakarya. Para batalion pendukung Dumbledore, saya rasa, harus siap-siap terguncang mendengar kisah hidup asli pahlawan mereka.
Harry telah mencapai bagian dasar artikel, tetapi masih terus menerawang halaman itu. Rasa jijik dan muak bercampur menjadi satu; ia menggumpalkan koran itu dan melemparnya sekuat tenaga ke tembok, masuk tempat sampah yang sudah kepenuhan itu.
Ia kehilangan fokus dalam kegiatannya hari itu, membuka laci kosong dan mengambil buku-buku hanya untuk meletakkannya kembali, hampir tidak menyadari apa yang sedang dilakukan, karena kata-kata Rita terus bergema di kepalanya: Satu bab penuh pada seluruh hubungan Potter-Dumbledore … Tidak sehat, bahkan ganjil … ternyata ia sendiri pernah pelajari Ilmu Hitam … saya punya akses ke narasumber yang bisa membuat banyak jurnalis iri …
“Semua bohong!” Harry berteriak, dan melalui jendela ia melihat tetangga sebelah yang sedang menyalakan kembali pemotong rumputnya menatap ke atas dengan gugup.
Harry duduk di tempat tidur. Potongan cermin itu seolah menari menjauh darinya; ia pun mengambilnya dan memainkannya di jarinya, merenungkan Dumbledore dan semua kebohongan yang telah dibuat-buat Rita Skeeter …
Tiba-tiba sekilat warna biru melintas di cermin itu. Harry terkejut, dengan jarinya teriris potongan cermin itu lagi. Itu pasti hanya halusinasinya saja. Ia menengok ke belakang, namun temboknya berwana krem pucat kesukaan Bibi Petunia: Tidak ada warna biru yang bisa dipantulkan cermin itu. Ia menatap potongan cermin itu lagi, dan hanya melihat matanya yang hijau menyala itu yang terpantul.Itu hanya halusinasi, tidak ada penjelasan lain; berhalusinasi, karena ia sudah merenungkan almarhum kepala sekolahnya. Satu hal yang bisa diyakininya sekarang hanyalah, mata biru terang Dumbledore tidak akan pernah menerawang pikirannya lagi.





BAB 3: Kepergian Keluarga Dursley

Bunyi pintu depan terbanting menggema ke atas tangga dan sebuah suara membahana, “Oi! Kau!”
Enam belas tahun dipanggil seperti itu membuat Harry tahu betul kapan pamannya memanggil, namun begitu, ia tidak langsung menjawab. Ia masih meneliti potongan cermin karena sejenak ia mengira telah melihat mata Dumbledore. Setelah pamannya berteriak, “BOY!” barulah Harry perlahan beranjak dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar, berhenti sejenak hanya untuk memasukkan potongan cermin itu ke ransel yang akan dibawanya.
“Nyantai-nyantai aja, ya!” bentak Vernon Dudley ketika Harry muncul di puncak tangga, “Turun sini. Aku mau ngomong!”
Harry menuruni tangga dengan kedua tangan dalam saku. Saat ia tiba di ruang tamu ia melihat ketiga anggota keluarga Dursley. Mereka sudah selesai mengepak; Paman Vernon mengenakan jaket lusuhnya dan Dudley, sepupu Harry yang besar, pirang, dan kekar itu dengan jaket kulitnya.
“Ya?” tanya Harry
“Duduk!” kata Paman Vernon. Harry meninggikan alis. “Tolong!” tambahnya masam, seakan-akan kata itu menyangkut di kerongkongan. Harry pun duduk. Ia tahu betul apa yang akan dibincangkan. Pamannya mulai berjalan mondar-mandir dan mata Bibi Petunia dan Dudley mengikutinya dengan khawatir. Akhirnya, wajah ungu meronanya mengernyit penuh konsentrasi. Paman Vernon berhenti di depan Harry dan berbicara.
“Aku berubah pikiran,” katanya.
“Wah, kejutan nih,” kata Harry.
“Nada suaramu itu —" mulai Bibi Petunia dengan suara melengking, namun Vernon memberi sinyal menyuruhnya diam.
“Semua omong kosong,” kata Paman Vernon, melototi Harry dengan matanya yang mirip mata babi itu. “Sudah kuputuskan, aku tidak percaya sepatah katapun omong kosong itu. Kami akan tetap tinggal, kami tidak akan pergi kemanapun.”Harry mendongak ke pamannya sambil merasa lelah dan kagum bercampur jadi satu. Vernon Dursley sudah terlihat plin-plan tiap harinya selama empat minggu belakangan ini, mengepak hanya untuk membongkarnya lagi setiap kali ia berubah pikiran. Saat-saat favorit Harry adalah ketika Paman Vernon, tanpa menyadari bahwa Dudley sudah menambah barbelnya ke dalam tas semenjak terakhir kali dipak, dengan santai mengayunkannya mengenai tulang keringnya sendiri, menimbulkan jeritan kesakitan dan sumpah-serapah.
“Menurutmu,” Vernon Dursley berkata, sambil terus mondar-mandir di ruang tamu, “kami – Petunia, Dudley, dan aku – sedang dalam bahaya. Dari – dari –“
“Orang-orang ‘macamku’, kan?” kata Harry.
“Ya dan aku tidak percaya itu,” ulang Paman Vernon, terhenti di depan Harry lagi. “Aku begadang semalaman mikirin hal itu, dan aku percaya kalau itu hanyalah plot untuk mengambil-alih rumah ini.”
“Rumah ini?” ulang Harry. “Rumah apaan?”
“Rumah ini!” gerung Paman Vernon, nadi di keningnya mulai berdenyut. “Rumah kami! Harga rumah sekarang sudah melonjak tinggi di sekitar sini! Kau mau kami semua pergi dari sini supaya bisa bilang simsalabim dan tiba-tiba akte kepemilikan rumah udah di tanganmu dan –"
“Apa Paman gila?” seru Harry. “Plot untuk mengambil-alih rumah ini? Apa Paman ternyata memang sebodoh muka Paman?”
“Jangan coba-coba –!" pekik Bibi Petunia, namun Vernon lagi-lagi memberi sinyal menyuruhnya diam. Kelancangan Harry tidak ada apa-apanya dibanding bahaya yang kelihatannya memang benar mengancam.“Sekadar mengingatkan,” kata Harry, “Aku sudah mewarisi rumah dari waliku. Jadi kenapa aku bisa tertarik dengan rumah ini? Semua kenangan indah?”Semuanya terdiam seketika. Harry berpikir kalau ia telah membuat pamannya terkesan dengan argumen ini.
“Kau mengklaim,” kata Paman Vernon, “kalau Si Pangeran itu –"
"—Voldemort," kata Harry tidak sabar, “dan kita sudah membicarakan masalah ini ratusan kali. Ini bukan klaim, ini fakta. Dumbledore sudah memberitahu Paman tahun lalu dan Kingsley dan Mr. Weasley –"
Vernon Dursley bergidik marah, dan Harry menduga kalau itu karena pamannya itu berusaha melupakan ingatan akan tamu tak diundang tersebut, beberapa hari sebelum liburan musim panas Harry usai, oleh dua penyihir dewasa. Tibanya Kingsley Shacklebolt dan Arthur Weasley telah mengagetkan keluarga Dursley. Harry harus akui, bagaimanapun juga karena Mr. Weasley pernah meluluhlantakkan sebagian ruang tamunya, ketibaannya tidak mungkin membuat Paman Vernon senang.
"—Kingsley dan Mr. Weasley juga udah bilang kan,” Harry melanjutkan, “Saat aku mencapai umur tujuh belas, mantra perlindungan yang selama ini melindungiku akan hilang, dan ini mengancam hidup kita semua. Orde Phoenix yakin sekali kalau Voldemort akan menargetkan kalian semua, entah untuk disiksa supaya bisa menangkap aku, atau mungkin dia pikir kalau dengan menyandera kalian aku akan datang dan berusaha menyelamatkan kalian.”
Paman Vernon dan Harry berkontak mata. Harry yakin kalau pada saat itu mereka sedang memikirkan hal yang sama. Lalu Paman Vernon berlanjut mondar-mandir dan Harry meneruskan, “Kalian harus pergi dan Orde ingin membantu. Kalian akan diberikan proteksi penuh, terbaik yang bisa diusahakan.”
Paman Vernon tidak menjawab namun meneruskan mondar-mandir. Di luar sinar matahari terlihat menyinari pagar tanaman. Pemotong rumput tetangga sebelah berbunyi kembali.
“Bukannya ada yang namanya Kementerian Sihir?” tanya Vernon Dursley ketus.
“Memang ada,” kata Harry terkesima.
“Lalu kenapa bukan mereka saja yang lindungi kita? Bagiku, sebagai korban tak berdosa, kita pantas mendapat proteksi pemerintah!”
Harry tertawa. Sangat tipikal orang seperti pamannya untuk menaruh harapan setinggi langit pada badan resmi, bahkan menyangkut komunitas yang dibencinya.
“Paman kan sudah dengar apa yang Mr. Weasley dan Kingsley bilang,” Harry menjawab. “Kami semua mengira kalau Kementerian sudah disusupi orang-orang Voldemort.”
Paman Vernon menghampiri perapian dan bernafas begitu keras hingga kumis besarnya berayun-ayun pada mukanya yang masih ungu penuh konsentrasi itu.“Oke,” katanya. Berhenti di depan Harry lagi. “Oke, sekarang anggap saja kalau kami sudah menerima perlindungan ini. Aku masih tidak mengerti kenapa kita tidak boleh mendapatkan si Kingsley itu.”
Harry memutar matanya dengan susah payah. Pertanyaan ini sudah dilontarkan selusin kali.
“Seperti yang sudah kubilang,” katanya melalui gemeretak gigi, “Tugas Kingsley adalah melindungi Perdana Menteri Mug – maksudku, Perdana Menteri anda.”
“Tepat sekali – dialah yang terbaik!” kata Paman Vernon, sambil mengacungkan jari pada layar TV yang kosong. Keluarga Dursley pernah melihat Kingsley di berita, berjalan mengiringi Perdana Menteri Muggle dalam kunjungan ke rumah sakit. Hal ini, ditambah kenyataan bahwa Kingsley telah menguasai cara berpakaian seperti Muggle dengan baik, dengan suaranya yang kalem dan dalam itu, telah membuat keluarga Dursley menganggap Kingsley berbeda dengan penyihir lainnya, walau memang benar kalau mereka tidak pernah melihatnya memakai anting-anting.
“Well, dia sibuk,” kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan Dedalus Diggle sudah benar-benar siap untuk tugas ini –”
“Kalau saja kita lihat CV-nya…” mulai Paman Vernon, tetapi Harry sudah hilang kesabaran. Beranjak bangun, ia berdiri menghadap pamannya, dengan tidak menunjuk TV sendiri.
“Semua kecelakaan ini bukan hanya kecelakaan biasa – tabrakan dan ledakan dan keluarnya kereta dari rel dan apapun juga yang telah terjadi sejak kita terakhir menonton berita. Orang-orang menghilang tiba-tiba dan dialah dalangnya – Voldemort. Sudah kuberitahu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk kesenangan belaka. Bahkan kabut itu – semuanya hasil kerja para dementor, dan kalau kalian lupa apa dementor itu, tanya anak kalian!”
Tangan Dudley terkibas menutupi mulutnya. Dengan mata orangtuanya dan Harry menatapinya, ia perlahan menurnukan tangannya dan bertanya, “Mereka … ada lebih banyak yang berkeliaran?”
“Ada lebih banyak?” tawa Harry. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu? Tentu saja ada banyak, mungkin ribuan jumlahnya sekarang, setelah mereka berhasil menyemai ketakutan dan keputusasaan—”
“Baik, baik,” gerutu Vernon Dursley. “Kami mengerti sekarang –”
“Kuharap juga begitu,” kata Harry, “Karena pada menit aku berumur tujuh belas, mereka semua – Pelahap Maut, dementor, atau bahkan Inferi – mayat yang disihir oleh penyihir Hitam – akan menemukan kalian dan sudah pasti menyerang kalian. Dan kalau kalian ingat tentang terakhir kalinya kalian berusaha melawan seorang penyihir, aku rasa aku setuju kalau kalian butuh bantuan.”
Kesunyian menyelimuti sesaat di mana gema raungan Hagrid mendobrak pintu seakan menggaung dari memori bertahun-tahun yang lalu itu. Bibi Petunia melihat Paman Vernon; Dudley menatapi Harry. Akhirnya Paman Vernon berujar, “Tapi bagaimana dengan pekerjaanku? Sekolah Dudley? Aku rasa hal-hal ini tak pernah terpikirkan oleh sekawanan penyihir pengangguran –”
“Apa paman masih tidak mengerti juga?” seru Harry. “Mereka akan menyiksa dan membunuh kalian seperti yang mereka lakukan pada orangtuaku!”
“Dad,” kata Dudley keras-keras, “Dad, – aku mau pergi sama orang-orang Orde ini.”
“Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau bicara masuk akal.”
Harry tahu ia sudah menang. Kalau Dudley merasa ketakutan untuk menerima bantuan Orde, orangtuanya pasti akan menyertainya. Mereka tidak mungkin rela berpisah dengan Duddykins tersayang. Harry menoleh ke jam di atas rak perapian.“Mereka akan tiba lima menit lagi,” katanya, dan ketika salah satu Dursley hendak menjawab, Harry langsung meninggalkan ruangan itu. Kemungkinan berpisah dengan mereka—mungkin selamanya – dari paman, bibi, dan sepupunya adalah suatu hal yang bisa membuatnya bahagia namun tetap saja ada rasa tidak enak yang menggantung di hatinya. Apa yang akan kaukatakan pada satu sama lain untuk mengakhiri enam belas tahun rasa ketidaksukaan?
Kembali di kamarnya, Harry memain-mainkan ranselnya lalu memasukkan beberapa biji matahari melalui jeruji sangkar Hedwig. Bebijian itu, yang jatuh berserakan di dasar kandangnya, tidak dipedulikan Hedwig.
“Kita akan pergi dari sini secepatnya,” Harry memberitahunya. “Dan kau akan bisa terbang lagi.”
Bel pintu depan berbunyi. Harry ragu sejenak, lalu beranjak keluar dari kamarnya ke lantai bawah. Akan terlalu sulit mengharapkan Hestia dan Dedalus untuk bisa menghadapi keluarga Dursley berdua saja.
“Harry Potter!” pekik suara yang kegirangan pada saat Harry membuka pintu; seorang pria berperawakan kecil dengan topi ungunya membungkuk di hadapannya. “Sebuah kehormatan!”
“Trims, Dedalus,” kata Harry, menyunggingkan senyum kecil malu pada Hestia yang berambut gelap itu. “Baik sekali kalian, mau melakukan ini… Mereka di sini, pamanku dan bibiku dan sepupuku…”
“Selamat pagi, kerabat Harry Potter semuanya!” kata Dedalus sambil dengan girangnya memasuki ruang tamu. Para Dursley tidak terlihat senang dipanggil begitu; dan Harry setengah berharap akan ada perubahan pikiran lagi. Dudley menciut pada ibunya melihat adanya dua penyihir itu.
“Saya lihat kalian sudah mengepak dan siap berangkat. Bagus sekali! Rencananya, seperti yang Harry sudah beritahu pada kalian, sangatlah simpel,” kata Dedalus, seraya merogoh jam saku dari dalam jubahnya dan memeriksanya. “Kita akan berangkat mendahului Harry. Karena risiko menggunakan sihir dalam rumah anda – Harry masih di bawah umur dan itu bisa membuat Kementerian punya alasan untuk menahannya – kita akan menyetir, bilanglah, kira-kira sepuluh mil jauhnya sebelum ber-Disapparate ke tempat aman yang sudah kami pilihkan. Anda tahu cara menyetir, kan?” Ia bertanya pada Vernon dengan sopan.
“Tahu cara –? Tentu saja saya tahu betul cara menyetir!” semprot Paman Vernon.
“Sangat pintar anda itu, tuan, sangat pintar. Saya pribadi akan sangat pusing dengan semua knob dan tombol itu,” kata Dedalus. Ia tentu sedang berpikir bahwa ia telah membuat Vernon Dursley terkesan, yang kelihatan jelas sudah mulai kehilangan kepercayaan acap kali Dedalus berbicara.
“Nyetir aja tidak bisa,” gerutunya, kumisnya bergoyang marah, namun untungnya Dedalus maupun Hestia tidak mendengarnya.
“Kau, Harry,” lanjut Dedalus, “harus tunggu para pelindungmu di sini. Ada perubahan kecil dalam rencana –”
“Apa maksud anda?” kata Harry. “Saya kira Mad-Eye akan datang dan mengiringi saya dengan Apparition-Berdampingan?”
“Sekarang sudah tidak mungkin lagi,” kata Hestia singkat, “Mad-Eye akan menjelaskannya.”
Para Dursley, yang selama ini mendengarkan mereka semua dengan tatapan-tidak-mengerti di wajah mereka, melonjak kaget ketika suara menggelegar, “Cepat!” Harry melihat sekeliling ruangan sebelum menyadari bahwa suara itu datang dari jam saku Dedalus.
“Betul juga, kita sedang dikejar jadwal padat,” kata Dedalus mengangguk pada jamnya dan memasukkannya kembali ke dalam jubahnya. “Kita akan mengira-ngira keberangkatanmu dari rumah dangan Disapparition keluargamu, Harry sehingga jampi-jampi itu hilang tepat pada saat kalian semua sudah berada di tempat yang aman.” Ia berputar pada para Dursley, “Well, semua sudah mengepak dan siap berangkat?”Tidak ada yang menjawab. Paman Vernon masih menatap bingung ke arah tonjolan di balik saku jubah Dedalus.
“Mungkin kita harus tunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia. Ia merasa tidak enak bagi mereka berdua untuk berada di ruangan selama Harry dan para Dursley mengucapkan selamat tinggal yang mungkin penuh tangis air mata.
“Tidak perlu,” Harry menjawab, namun Paman Vernon menyela penjelasan Harry dengan berkata keras-keras, “Well, selamat tinggal kalau begitu, nak.”Ia mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami Harry, tetapi kemudian tidak mampu melakukannya dan hanya mengepal tangannya dan menggetarkannya bak pendulum. “Siap, Duddy?” tanya Petunia, dengan kikuk mengecek tasnya untuk mencegah melihat langsung ke Harry.
Dudley tidak menjawab tetapi berdiri di situ dengan mulut menganga, mengingatkan Harry akan si raksasa kecil, Grawp.
“Ayo, kalau begitu,” kata Paman Vernon.Ia sudah mencapai pintu depan ketika Dudley menggumam, “Aku tidak mengerti.”“Tidak mengerti apa, popkin?” tanya Petunia melihat anaknya.Dudley mengacungkan jarinya yang besar dan tebal itu ke arah Harry.“Kenapa dia tidak ikut kita?”
Paman Vernon dan Bibi Petunia membeku ketika mereka menatap Dudley seolah ia baru saja mengatakan ingin menjadi balerina.
“Apa?” kata Paman Vernon keras-keras.
“Kenapa dia tidak ikut juga?” tanya Dudley.
“Well, dia—dia tidak mau saja,” kata Paman Vernon, berbalik menatap Harry dan menyeletuk, “Kau tidak mau, kan?”
“Tidak mau sama sekali,” kata Harry.
“Tuh, liat sendiri, kan,” Paman Vernon beritahu Dudley. “Oke sekarang ayo kita pergi.”
Ia berjalan keluar dari ruangan itu. Mereka mendengar pintu depan terbuka, namun Dudley tidak bergeming dan setelah berjalan ragu sebentar Bibi Petunia berhenti juga.
“Ada apa lagi?” bentak Paman Vernon, muncul lagi di depan pintu.Kelihatannya Dudley mengalami kesulitan untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Setelah beberapa saat dengan bersusah payah pun ia berkata, “Tapi dia mau pergi ke mana?”Paman Vernon dan Bibi Petunia bertukar pandangan. Terlihat jelas kalau mereka bingung melihat tingkah Dudley. Hestia memecah keheningan itu.“Tapi… tentu kalian tahu ke mana keponakan kalian akan pergi, kan?” ia bertanya kebingungan.
“Tentu kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Ia akan pergi dengan orang-orang macam kalian, kan? Begitulah, Dudley, masuk ke mobil, kamu kan sudah dengar, kita harus cepat pergi.”
Lagi, Vernon Dursley hanya berjalan sampai ke pintu depan, namun Dudley tidak mengikutinya.
“Pergi dengan orang-orang macam kami?”
Hestia terlihat geram. Harry sudah pernah melihat sikap seperti ini sebelum para penyihir mengetahui bahwa kerabat dekatnya sendiri tidak begitu tertarik dengan Harry Potter yang terkenal.
“Tidak apa-apa, kok,” Harry meyakinkannya. “Tidak masalah, sungguh.”
“Tidak masalah?” ulang Hestia, dengan suara naik.“Apa orang-orang ini tidak sadar apa yang sudah kau lalui? Risiko apa yang kau alami? Posisi istimewa apa yang kau miliki di tengah-tengah gerakan anti-Voldemort?”
“Er –tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka hanya pikir aku pemborosan ruangan saja, tapi aku udah terbia–”
“Aku tidak berpikir kamu pemborosan ruangan saja”Andai Harry tidak melihat gerakan bibir Dudley, ia mungkin tidak akan mempercayainya. Harry membelalak menatap sepupunya beberapa detik sebelum akhirnya percaya bahwa memang sepupunya yang baru berbicara; dan karena itu, Dudley merona merah. Harry merasa malu dan kaget sendirinya.
“Well... er… trims, Dudley.”
Lagi, Dudley kelihatan bersusah payah melontarkan kata yang tepat sebelum akhirnya bergumam, “Kau telah menyelamatkan hidupku,”
“Tidak juga,” kata Harry. “Jiwamu-lah yang mungkin saja sudah dihisap oleh dementor…”
Ia melihat penasaran ke arah sepupunya. Mereka bahkan hampir tidak menyapa satu sama lain selama musim panas ini atau tahun lalu, karena Harry hanya datang ke Privet drive sebentar dan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kamar saja. Sekarang Harry mengerti, bahwa cangkir yang telah diinjaknya tidak sengaja pagi itu mungkin saja bukan jebakan iseng. Walau agak tersentuh, ia tetap saja lega melihat Dudley merasa kikuk mengutarakan perasaannya. Setelah membuka mulut sekali-dua kali, Dudley terdiam dengan muka merah.
Bibi Petunia tidak mampu menahan air mata. Hestia Jones mengangguk senang sejenak sebelum akhirnya geram kembali ketika Bibi Petunia maju ke depan dan memeluk Dudley dan bukannya Harry. “S-sangat manis, Dudders…” ia tersedu-sedu dalam dekapan bahu anaknya. “S-sungguh anak yang manis… mebgucapkan terima kasih…”
“Tapi dia sama sekali tidak bilang terima kasih!” celetuk Hestia. “Dia kan cuma bilang kalau Harry tidak menuh-menuhin tempat!”
“Yeah tapi kalau datangnya dari Dudley itu sama saja seperti ‘I love you’,” kata Harry, terbelah antara rasa tersinggung dan hendak tertawa ketika Bibi Petunia terus mendekap Dudley seakan-akan ia baru saja menyelamatkan Harry dari kebakaran gedung.
“Kita jadi pergi tidak?” suara Paman Vernon membahana, muncul lagi di depan pintu ruang tamu. “Kukira kita dibatasi jadwal padat!”
“Ya –ya memang betul,” kata Dedalus Diggle, yang selama ini menyaksikan semuanya dengan penuh kebingungan dan sekarang mulai bertindak. “Kita benar-benar harus pergi. Harry –”
Ia melangkah ke depan dan menggenggam tangan Harry dengan kedua tangannya. “—sukses selalu. Semoga kita bisa berjumpa lagi. Harapan seluruh dunia Sihir ada di pundakmu.”
“Oh,” kata Harry, “betul. Trims.”
“Selamat tinggal, Harry,” kata Hestia sambil menggenggam tangannya juga. “Doa kami mengiringimu.”
“Kuharap semuanya baik-baik saja,” kata Harry sembil menoleh ke arah Bibi Petunia dan Dudley.
“Oh, aku yakin mereka akan baik-baik saja,” kata Diggle pelan, topinya berayun ketika ia meninggalkan ruangan itu. Hestia mengikutinya.
Dudley melepaskan dirinya perlahan dari dekapan ibunya dan melangkah ke arah Harry yang sedang menahan diri untuk tidak mengancamnya dengan sihir. Lalu Dudley mengulurkan tangannya yang besar dan merah muda itu.“Wah, Dudley,” kata Harry di tengah-tengah isak tangis Bibi Petunia, “apakah para dementor itu sudah meniupkan kepribadian baru dalam dirimu?”
“Tidak tahu deh,” gumam Dudley, “Sampai jumpa, Harry.”
“Yeah…” kata Harry, menerima tanga Dudley dan menyalaminya. “Mungkin. Hati-hati, Big D.”
Dudley hampir tersenyum. Mereka melangkah lunglai keluar ruangan itu. Harry mendengar langkah kaki mereka bergemeretak di jalanan beraspal, lalu bunyi pintu mobil ditutup.
Bibi Petunia yang wajahnya selama ini tersembunyi di balik saputangan menoleh ke arah bunyi itu. Ia tidak mengira akhirnya hanya berdua saja dengan Harry. Tergesa-gesa memasukkan saputangan basahnya ke dalam saku, ia berkata, “Well – selamat tinggal” dan berjalan ke arah pintu tanpa memandang Harry.
“Selamat tinggal,” kata Harry.
Ia berhenti dan menoleh ke belakang. Untuk sesaat timbul perasaan aneh dalam diri Harry bahwa bibinya hendak mengatakan sesuatu padanya; Ia melemparkan pandangan aneh penuh gemetar dan terlihat hampir membuka mulut, setelah mengangguk kecil, keluar dari rumah itu mengikuti suami dan anaknya.




Rabu, 12 Maret 2008

My Harry Potter

Hai... Hai... Harry Potter mania...
Ini adalah Pantauan Potter...
Lagi usaha cari seluruh terjemahan Harry Potter dan Relikui Kematian nih...
Entar bagi-bagi dech dengan kalian sesama Muggle yang mencintai dunia sihir na HarPot...
Tunggu aja...

Kahlil Gibran

Ku tulis namamu di awan...
Tapi angin membawanya pergi...
Ku tulis namamu di pasir pantai...
Tapi gelombang menghapusnya...
Lalu ku tulis namamu di hatiku...
Dan disanalah namamu bertakhta selamanya...